Di
sebuah desa yang jauh dari keramaian, terdengarlah suara ayam di ikuti kicau
burung nan merdu, menandakan hari sudah pagi. Embun pagi yang masih membasahi
dedaunan, kian menambah sejuk udara di desa itu. Dari jauh tampak iringan para
petani yang sudah memikul cangkul, hendak ke sawah, di iringi suara alam yang
masih terdengar. Dalam iringan para petani itu, terlihat ada seorang anak
berpegangan di tangan ayahnya. “ ayah, apa kebun ayah sudah dekat ?” Elvi
bertanya. Ayahnya hanya mengangguk. Senyum Elvi pun mengembang, dia berharap
cepat tiba di sana karena kakinya sudah mulai pegal berjalan. Wajar jika Elvi
bertanya demikian, karena setahu dia, ayahnya adalah seorang buruh di sebuah
pabrik tahu. Penghasilanya yang pas-pasan tidak menyurutkan semangat ayahnya
Elvi untuk bekerja, namun malang, akhir bulan yang lalu pak Arman terkena PHK,
pabrik tahu tempat dia bekerja sudah gulung tikar, kini dia menghidupi
keluarganya dengan berkebun kacang kedelai. Ia membeli kebun yang tidak terlalu
luas dari hasil tabunganya selama di bekerja dulu.
Elvi
dan ayahnya tiba di kebun. Mereka duduk
melepas lelah sejenak sambil menikmati indahnya pemandangan kaki gunung
salak yang tampak hijau dari kejauhan. “Elvi mana ibumu ?” ayah tiba-tiba
bertanya. “Mungkin masih di belakang yah” jawab Elvi. Sudah menjadi kebiasaan
bu Arman untuk membawakan makanan ke kebun untuk istirahat suaminya makan
siang. Pak Arman mulai mencangkul, mengolah tanah yang akan di tanami bibit
kacang kedelai, Elvi memandangi ayahnya yang sedang bekerja itu.
Butiran-butiran keringat mengucur di badan pak Arman, “ Ayah, ada yang bisa
Elvi bantu?” Elvi iba melihat ayahnya yang tampak kelelahan itu, “ tak perlu
nak, tugasmu hanyalah belajar dengan tekun, supaya kelak kau menjadi orang yang
sukses, tak seperti ayahmu ini” ayah memberi nasehat. Elvi mengamininya dalam
hati, memang benar kewajibannya hanyalah belajar dengan tekun, agar
cita-citanya bisa tercapai dan bisa membanggakan kedua orang tuanya.
“
Elvi, bukanya kamu seharusnya berada di sekolah?” Elvi terkejut dan menoleh,
ternyata ibunya sudah ada di belakang. “ ya ampun, ibu, bikin aku kaget aja,
Elvi kan masih liburan semester bu, minggu depan baru masuk lagi” Elvi
menjelaskan. “oh ya sudah, ibu lupa vi” bu Arman tersenyum. Bu Arman tiba di
kebun, tanganya sudah membawa beberapa rantang yang berisi makanan. Tak terasa
hari pun sudah siang, mereka pun berkumpul di saung untuk makan siang. Tersaji
makanan sederhana, mulai dari ikan asin, sayur asem, sambal terasi dan beberapa
ketimun sebagai lalapanya. “hemm, masakan ibu memang terlihat lezat” pak Arman
memuji. Senyum ibu mengembang. Mereka pun mulai menyantap makan siang, walau
sederhana tapi mereka menikmatinya
Setelah
menyantap makan siang, mereka tidak langsung beranjak pergi. “ Ayah, tadi ada
pak Rizal datang ke rumah” ibu memulai
pembicaraan “ oh iya, memangnya ada apa bu, pak Rizal datang?” ayah menanggapi
serius. “ Itu loh pak, dia menanyakan, kapan tunggakan kontrakan rumah kita di
lunasi?”. Terlihat wajah ayahnya Elvi menjadi murung, bukanya pak Arman tidak
berniat melunasinya, tetapi memang kondisi ekonomi keluarganya yang sekarang
tengah krisis. “Ibu, ayah juga inginya segera melunasi tunggakan kontrakan kita
akhir tahun ini, tapi kan ibu tau sendiri, saya baru saja di PHK dan sekarang
hanya mengandalkan penghasilan dari kebun ini, doakan saja supaya cepat bisa di
panen hasilnya”. Hari sudah mulai sore, senja pun mulai terbenam. Elvi dan
kedua orang tuanya meninggalkan kebun, pulang ke rumah.
Elvi
yang baru menginjak usia 10 tahun, harus sudah mulai belajar prihatin dengan
kondisi keluarganya sekarang. Ia sadar kondisi keluarganya tidak sama seperti
dulu lagi, sejak ayahnya di PHK kondisi ekonomi keluarganya serba pas-pasan. Namun
dia tetap semangat belajar, agar prestasinya bisa membuat bangga kedua orang
tuanya. Malam pun tiba, Elvi dan keluarganya sedang berkumpul di teras depan,
kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati mereka.
Ternyata
Pak Abdul yang datang “ assalamualaikum, maaf menggangu” pak Abdul memberi
salam, kemudian Elvi dan keluarganya menjawab. Kedatangan pak Abdul membuat
mereka terkejut. Pak Abdul adalah seorang juragan terkenal di desa itu, dia
merupakan salah satu pengusaha kacang kedelai yang sukses di desanya. “Oh pak
Abdul, ada apa pak malam-malam berkunjung ke rumah kami?” pak Arman bertanya.
Kemudian pak Abdul mengutarakan maksud kedatanganya. Ternyata dia tertarik
untuk bekerja sama dengan pak Arman dalam mengelola kacang kedelai. Hal ini
tentu di sambut baik oleh mereka. “ Pak Arman, setelah kemarin saya berjalan-
jalan dan tak sengaja melihat kebun kacang bapak, saya jadi tertarik untuk
bekerja sama dengan anda dalam memproduksi kacang kedelai” pak Abdul
menjelaskan, rupanya dia tertarik dengan cara pembudidayaan yang di lakukan pak
Arman. Menurutnya, lahan perkebunan pak Arman akan menghasilkan yang
menguntungkan di kemudian hari, karena terawat dengan baik. Maka akhirnya
mereka pun setuju dengan kerja sama itu
Beberapa bulan kemudian, kebun
kacang milik pak Arman sudah siap panen. Pak Abdul dan para pekerjanya lah yang
membantu panennya pak Arman. Ternyata memang benar, kacang kedelai
pembudidayaan pak Arman hasilnya memuaskan. Kalau biasanya para petani yang
lain di desa itu harus bersusah payah sendiri mulai dari panen sampai mejualnya
di pasaran, tetapi tidak untuk pak Arman. Semua hasil panenya langsung di beli
oleh pak Abdul dan kemudian di kirim ke pabriknya.
Dari situlah, akhirnya kehidupan
keluarga Elvi pun bisa bangkit kembali. Mereka tidak perlu khawatir lagi akan
tunggakan kontrakan rumah ataupun biaya sekolah Elvi. Kini pak Arman dan
keluarganya telah menjadi keluarga yang sukses, yang serba kecukupan dan Elvi
pun tetap bisa mempertahankan prestasi di sekolahnya.
Nama : Septiaji Fajar Riyanto
Kelas : 2SA04
NPM : 16611682